Halaman

Senin, 27 Mei 2013

Snows

Aku tengah berjalan melewati jalanan kota Winnipeg yang diselimuti salju tebal di setiap sisinya. Jalan itu berada sekitar dua blok dari rumahku dan suasananya masih sepi mengingat baru jam sepuluh pagi. Udara pagi itu terasa sangat dingin karena salju turun lumayan lebat dan angin windchill berhembus menusuk-nusuk kulitku yang sudah kututupi dengan rapat. Aku sudah memakai lima lapis pakaian termasuk mantel dan penutup kepala yang kukenakan namun rasa dingin tetap menjalari seluruh tubuhku. Aku mempercepat langkah kakiku agar segera sampai di perpustakaan Paman Bill yang ada lumayan jauh dari pusat kota. Perpustakaan itu memang tidak buka hari ini namun Paman Bill memberikanku kunci cadangan jika aku ingin membaca buku di sana.
                Beberapa menit kemudian aku sampai di depan perpustakaan itu. Perpustakaan itu berupa bangunan kecil bergaya Prancis mengingat warga Winnipeg banyak yang berasal dari Prancis. Aku berjalan menuju pintu ketika kulihat sebuah mobil Range Rover hitam tengah terparkir di gang yang ada di samping perpustakaan. Aku merasa mobil itu terjebak salju karena saat itu masih pagi dan jalanan masih belum dibersihkan dari salju yang sangat tebal. Aku mengamati mobil itu dan terlihat siluet seseorang di dalamnya. Siapapun orang itu pasti dia sudah cukup lama berada di dalam mobil itu karena salju yang lumayan tebal menutupi atap mobilnya. Tiba-tiba orang itu keluar dari mobilnya. Ia menggunakan mantel biru tua dengan sweater yang senada serta celana musim dingin yang terlihat begitu mahal. Orang itu menggunakan penutup kepala hingga hanya wajahnya saja yang terlihat, namun aku tidak bisa melihat wajahnya karena ia memakai kacamata hitam. Aku tahu dia adalah seorang lelaki.
                Lelaki itu mengusap-ngusap telapak tangannya yang tidak memakai sarung tangan. Ia terlihat kedinginan. Tanpa berpikir panjang aku langsung berjalan menghampiri pemuda itu sambil memasukkan tanganku ke dalam saku mantelku.
                “Kau terlihat kedinginan. Kau boleh ikut aku ke dalam perpustakaan itu jika kau mau”, kataku sambil menunjuk perpustakaan Paman Bill. Untuk beberapa lama lelaki itu tidak menjawab dan hanya memandangiku. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya karena ia memakai kacamata dan penutup kepala hingga aku hanya bisa melihat sedikit bagian wajahnya. “Bagaimana?” lanjutku.
                “Tentu, terimakasih”, kata lelaki itu. Aku bisa melihatnya senyumannya.
                “Ok, sebaiknya kita cepat masuk atau kita akan membeku”, kataku seraya berjalan menuju perpustakaan. Lelaki itu mengikutiku memasuki perpustakaan Paman Bill. Aku langsung menyalakan lampu dan pemanas ruangan lalu membuka mantelku. “Kau bisa menggantungkan mantelmu di gantungan itu dan membaca buku-buku yang ada di sini jika kau mau”, aku mulai menyalakan computer dan mencari dimana letak buku yang aku butuhkan.
                “Hari ini perpustakaan ini tutup jadi kau bisa membaca buku apapun yang kau mau dengan gratis”, kataku tanpa mengalihkan pandanganku dari layar computer. Lelaki itu membuka mantelnya namun tidak dengan penutup kepala dan kacamatanya.
                “Kau penjaga perpustakaan?”
                “Tidak, ini milik pamanku dan aku sering ke sini. Apa yang sedang kau lakukan dengan berada di sini sepagi ini?”
                “Aku—mobilku terjebak salju karena belum ada yang membersihkan jalan.”
                “Itu karena kau terlalu pagi untuk membawa mobil dan cuaca hari ini lumayan buruk”, tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Aku belum tahu siapa namamu”, kataku menatap lelaki itu.
                “Apa itu sangat penting untukmu?”
                “Ya, karena aku takut jika kau ternyata adalah seorang mafia atau buronan polisi.” Dia tertawa mendengar perkataanku. “Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?”
                “Karena kau memakai mobil mewah dan pakaianmu terlihat sangat berkelas. Jadi siapa namamu?” desakku. Beberapa saat lelaki itu hanya diam namun ia lalu membuka penutup  kepalanya hingga aku dapat melihat rambutnya yang lurus dan pirang hingga aku merasa familiar. Sebelum ia membuka kacamata hitamnya aku sudah bisa tahu siapa namanya. Jantungku seakan berhenti berdetak dan aku merasa sedang bermimpi saat ia membuka kacamatanya.
                “Aku rasa kau sudah tahu namaku”, katanya sambil tersenyum.
                “Kau benar-benar Justin Bieber?” kataku seolah yang berdiri di depanku saat ini adalah alien. “Ya ampun bagaimana bisa kau ada di sini?”
                “Aku ada di sini karena tadi kau mengajakku masuk ke sini”, Justin tersenyum.
                “Maksudku bagaimana seorang bintang sepertimu bisa ada di sini? Dan bagaimana mungkin kau sendirian?”
                “Hey aku orang Kanada, kau tahu? Aku hanya sedang pulang ke Ontario dan aku ada sedikit urusan di sini. Tentang bagaimana bisa aku sendirian itu karena aku meminta Kenny dan Chaz untuk membiarkanku sendiri”, jelas Justin.
                “Bagaimana bisa mereka membiarkanmu berkeliaran sendiri? Ini akan jadi masalah jika ada yang melihatmu”, aku berdiri dari kursiku.
                “Ini masih jam sembilan, ini terlalu pagi bagi orang Winnipeg untuk beraktivitas, kan?”
                “Kau benar”, aku kembali duduk. “Jadi, Tuan Bieber, kenapa kau tidak menelpon bodyguard-mu untuk menjemputmu?”
                “Aku tidak mau membuat ibuku khawatir jadi aku bilang bahwa aku sedang makan bersama Chaz dan Kenny harus menjaganya agar tidak menemukanku”, Justin duduk di salah satu kursi yang ada di seberangku. “Sekarang, siapa namamu?”
                “Madeline, panggil saja Maddie.”
                “Madeline”, Justin menyenandungkan namaku.
                “Ok aku tahu suaramu bagus, tapi ini perpustakaan”, kataku pura-pura sibuk dengan computer dan buku ku.
                “Madeline”, kali ini Justin berbisik lalu tertawa. Aku hanya bisa ikut tertawa melihat tingkahnya yang sangat kekanakan. Kami berbincang tentang banyak hal dan dia menceritakan tentang pengalamannya menghadapi fans-nya yang begitu terobsesi padanya. Aku tidak tahu apakah ini nyata atau hanya mimpi yang akan berakhir saat aku membuka mata namun aku merasa sangat beruntung karena bisa berbicara dengan seseorang seperti Justin Bieber. Aku tidak terlalu menyukainya namun aku merasa nyaman saat berbicara dengannya.
                Kini aku tahu bahwa Justin sering menjilat bibirnya saat ia tengah berbicara dan mengusap hidungnya saat ia merasa terpojok oleh lawan bicaranya. Inikah sososk seorang Justin Bieber dari dekat? Aku mulai merasa kagum dengannya, dan entah mengapa aku merasa takut karena aku tahu dia tidak akan lama ada di Winnipeg.
                Kami berada di perpustakaan itu sampai sore hari namun hari itu terasa lebih pendek daripada hari-hari lain. Ruangan itu terasa begitu hangat dan bertambah hangat karena kehadiran Justin walaupun udara di luar mencapai minus lima derajat dan salju yang terus turun. Beberapa kali Justin mendapat telepon entah dari siapa namun Justin hanya menjawabnya dengan malas dan acuh. Menjelang petang, aku dan dia bersiap untuk meninggalkan perpustakaan. Entah mengapa namun aku merasa begitu nyaman di sana hingga rasanya aku tidak mau meninggalkan ruangan itu, namun aku harus tahu bahwa Justin harus pergi. Aku menyadarkan diriku sendiri bahwa mungkin Justin akan lupa padaku jika ia sudah pergi dari sini. Aku juga harus ingat bahwa Justin sudah memiliki pacar yang sangat dicintainya.
                “Di luar sangat dingin, kata Paman Bill suhunya mencapai minus tujuh derajat”, kataku sambil memakai mantelku.
                “Tenang saja, aku pernah mengalami yang lebih dingin. Aku sudah menyuruh Chaz untuk tidak menjemputku. Jadi, apa kau mau kuantar pulang?”
                “Tidak, terimakasih”, aku sudah selesai memakai mantel dan penutup kepala begitupun dengannya. Kami lalu keluar dan udara berubah drastis menjadi dingin dan menggigiti kulit kami. Salju turun. Aku melihat mobil Justin tertutupi salju tipis, karena aku tadi menyuruh orang untuk membersihkan mobilnya. “Ini sudah malam, Maddie. Aku yang telah membuatmu harus pulang malam jadi aku harus memastikan kau selamat sampai ke rumahmu dan tidak membeku”, Justin menggenggam tanganku. Tanpa banyak bicara lagi ia langsung membukakan pintu untukku dan menyuruhku masuk lalu kami melesat meninggalkan perpustakaan itu.
                Justin memintaku untuk membelikannya makanan cepat saji karena ia tidak bisa belanja sendirian di tengah keramaian. Walaupun masih jam empat namun langit sudah gelap hingga udara semakin dingin. Setelah membeli makanan kami pun kembali melesat menuju rumahku.
                “Aku ingat sekarang, kau pernah ke sini bersama Selena dan makan malam romantis di Museum Manitoba. Kau juga menandatangani sebuah t-shirt dengannya hingga t-shirt itu dijadikan undian dan diundi tanggal 10 April 2012 lalu”, kataku saat aku teringat sebulan yang lalu aku mengantar temanku untuk membeli tiket untdian tersebut dan sayangnya temanku tidak memenangkannya. Oh Tuhan, bagaimana reaksi temanku itu jika dia tahu aku dan Justin sedang bersama sekarang?
                “Ya, bagaimana kau bisa ingat sampai sedetail itu?”
                “Karena waktu itu aku mengantar temanku, dia sangat menyukaimu.”
                “Benarkah?” tanyanya. Aku hanya mengangguk. Salju turun semakin lebat hingga jalanan mulai diselimuti salju yang tebal. Justin mengendarai mobilnya dengan pelan karena jalanan yang licin. Tiba-tiba aku merasa aneh. “Justin, wait. Ini bukan jalan menuju rumahku.”
                “Ya ampun. Aku lupa, ini jalan menuju hotelku. Tenang, aku akan memutar untuk kembali.”
Jalanan itu memang satu arah hingga kami harus memutar untuk kembali ke rumahku. Justin mengambil jalan pintas yang sepi dan gelap supaya kami bisa cepat sampai. Namun saat itu terjadi badai salju hingga jalanan tertutup salju yang tingginya mencapai dua puluh senti. Justin terus mengendarai mobilnya namun tiba-tiba mobilnya terjebak salju yang menggunung di tengah jalan. “Damn it!” pekik Justin.
To be continue..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar