Halaman

Senin, 27 Mei 2013

Snows Part 2

“Apa yang harus kita lakukan?” aku mulai merasa panik karena jalanan itu begitu sepi dan gelap. Justin terlihat kesal dan langsung mengambil handpone-nya. “Kenny, aku terjebak salju. Ya, aku tahu aku salah tapi sekarang cepat kau ke sini. Aku ada di jalan pintas kecil yang dekat dengan jalan Portage”, Justin menatap aku yang tengah ketakutan lalu seolah mengisyaratkan ‘semuanya akan baik-baik saja’. “Segeralah ke sini sebelum aku membeku dan menjadi es untuk wine”, Justin langsung menutup teleponnya.
                “Bagaimana ini?” hanya itu yang bisa kuucapkan.
                “Kenny akan segera datang, sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana supaya kita tidak kedinginan”, kata Justin lalu merapatkan mantelnya. Pemanas mobil masih berjalan namun salju sudah membuat mobil terjebak hingga kami tetap merasa kedinginan. “Maafkan aku, seharusnya aku tidak membuatmu susah seperti ini”, Justin menatapku dengan mata cokelatnya yang indah.

                “Aku akan baik-baik saja asal Kenny segera datang, kakiku terasa mati rasa” kataku dengan gigi yang gemeletuk. Aku menaikkan kerah mantelku karena merasa begitu kedinginan. Kulihat Justin yang juga terlihat kedinginan. Aku mulai terbiasa menganggapnya seperti orang biasa dan bukannya seorang Justin Bieber yang terkenal.
                “Aku pernah membaca buku bahwa berpelukan dapat membuat kita merasa lebih hangat”, kata Justin sambil tersenyum nakal.
                “Apa kau berpikir—ah sudahlah”, aku semakin menggigil dan memilih untuk tidak menghiraukannya.
                “Mungkin ini saat yang tepat untuk membuktikan teori itu”, Justin terkekeh walaupun giginya gemeletuk karena kedinginan.
                “Kau bercanda”, kataku sambil menaikkan kedua kakiku ke atas kursi mobil. Aku merasa tidak bisa merasakan kakiku sendiri dan salju yang semakin tinggi hingga hampir mengubur mobil Justin, membuatku bergetar kedinginan. Beberapa saat aku merasakan dingin yang sangat menusuk seperti jarum-jarum yang menusuk tulangku. “Kemarilah, kali ini aku serius, aku mulai cemas dan takut. Aku juga sangat kedinginan”, Justin meraih lenganku. “Kenny akan datang sekitar dua puluh menit lagi, aku tidak mau kau membeku”, Justin mulai menarik pelan lenganku agar mendekatinya. Aku merasa hilang kendali atas diriku sendiri hingga aku mengikutinya dan meringkuk di sampingnya. Kedua lengannya memelukku dan mengusap-ngusap punggungngku. Aku hanya bisa meringkuk dalam pelukkannya dan meraih kehangatan tubuhnya
                “Wajahmu begitu dingin”, kata Justin yang merasakan pipiku menempel di dadanya. Aku tidak menghiraukannya dan terus merapatkan diriku padanya. “Aku akan memecat Kenny jika kau mengalami hypothermia”, kata Justin dengan kesal. Aku mencoba untuk mengatakan sesuatu namun aku begitu kedinginan hingga aku tidak bisa mengatakan apapun.
                “Berusahalah untuk mengalihkan pikiranmu dari rasa dingin ini”, Justin menaruh dagunya di atas ubun-ubunku. Ia masih berusaha menghangatkan tubuhku dengan mengusap punggungku. Dari jarak yang hampir tidak ada di antara kami, aku dapat mencium aroma tubuhnya yang begitu memikat. “Berapa umurmu?” lanjutnya.
                “Enam belas, kau?” aku berusaha berbicara walau sulit.
                “Kurasa kau jarang menonton televisi”, Justin terkekeh. “Kita beda setahun. Apa yang kau sukai?”
                “Aku suka menari balet, aku tahu semua anak-anak perempuan ingin bisa menari balet. Aku ingin bisa menjadi seperti Angel Corella,” kataku sambil menerawang setiap detil impianku itu. Justin hanya terkekeh mendengar impianku itu.
                “Percayalah bahwa kau bisa menjadi apa yang kau impikan”, kata Justin.
                “Aku tahu, kau sering mengatakan itu pada fans mu”, kataku sambil mengusap-usap kedua telapak tanganku untuk menghilangkan rasa dingin, namun rasanya itu tidak banyak membantu. Akhirnya aku hanya terdiam meringkuk dalam dekapan Justin hingga tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

                Aku membuka mataku. Suhu di sekelilingku terasa hangat dan semuanya terlihat berwarna biru muda. Aku mengerjapkan mataku. Aku ingat tempat ini, ini adalah—kamarku. Aku duduk di atas kasur dan menatap sekelilingku, ini memang benar-benar kamarku. Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi, tiba-tiba—Justin. Ya Tuhan, apakah itu semua hanya mimpi? Aku menatap bayanganku di cermin besar yang ada di depanku. Aku masih memakai sweater yang kugunakan saat bersama Justin. Aku menatap jam yang menunjukkan pukul sebelas pagi. Udara saat itu terasa tidak sedingin kemarin dan cuacanya juga sangat cerah. Aku pun keluar dari kamarku dan turun mencari ibuku.
                “Mom”, panggilku seraya berjalan menuju dapur. Aku melihat ibuku sedang fokus menonton televisi hingga ia membiarkan adonan kuenya begitu saja dan tidak menjawabku. Aku melihat televisi itu dan yang ditayangkan adalah berita tentang Justin. Ya, Tuhan, aku merasa seakan jantungku berhenti berdetak. Televisi itu memberitakan bahwa Justin menandatangani sebuah mobil sport merah dan akan melelang mobil itu lalu uangnya akan digunakan untuk membuat sanggar ballet di Winnipeg. “Sayang, kau benar-benar gadis yang beruntung”, sorak ibuku.
                Ibuku lalu menceritakan bahwa kemarin malam aku diantar pulang oleh Justin dalam keadaan tertidur. Ibu juga bilang bahwa Justin pula lah yang menggendongku dan menidurkanku di kamarku. Ibuku mengaku sempat histeris dengan keberadaan Justin namun Justin memintanya untuk tidak heboh karena ia harus menghindari masalah dari para fans-nya.
                Aku kembali ke kamarku dengan perasaan yang campur aduk. Senang ya, sedih juga ya, karena aku mungkin tidak akan bertemu lagi dengan Justin. Saat aku ingin kembali menghempaskan tubuhku ke kasur, aku melihat sebuah kertas ungu di atas bantalku. Saat bangun tadi aku tidak menyadari keberadaan kertas itu. Aku membuka kertas itu dan membacanya.

                Maddie, kau tidur begitu lelap hingga aku tidak tega untuk membangunkanmu. Sebenarnya aku ingin menunggumu bangun namun aku harus segera kembali ke New York. Ketahuilah bahwa aku tidak akan pernah melupakanmu karena kemarin adalah pengalaman yang tidak mungkin bisa kulupakan. Aku berharap bisa bertemu lagi denganmu jika suatu saat aku ke Winnipeg lagi. Aku ingin kau terus percaya pada impianmu karena aku yakin impianmu pasti bisa terwujud. Satu lagi, aku mengambil fotomu yang ada di kamarmu untuk kubawa agar aku selalu bisa melihat wajahmu.
                                                                                                                                                 Justin Bieber

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar